Thursday, February 7, 2013

"Kekayaan Prasejarah Indonesia"

Tak bisa di pungkiri banyaknya situs, peninggalan-peninggalan seperti tembikar, kapak batu, adat istiadat kebudayaan bangsa Indonesia adalah warisan leluhur dari nenek moyang terdahulu yang pernah hidup dan berkuasa di Indonesia, dan di antaranya juga ada peninggalan dari beberapa negara yang pernah menjajah di Indonesia, misalkan seperti bangsa Portugis dan Belanda, jadi ada baiknya sebelum kita mengenal lebih jauh tempat-tempat wisata yang bertebaran di Indonesia tercinta ini, mengenal lebih dahulu atau minimal tahu latar belakang cikal bakal dari mana asal mulanya peninggalan-peninggalan tersebut. Zaman Pra-Sejarah di Indonesia di bagi dalam 3 Zaman, yaitu :

1. ZAMAN PALEOLITHIKUM
Temuan arkeologi Indonesia telah memberikan kontribusi yang lebih untuk bisa mengetahui perabadan dan asal mulanya nenek moyang bangsa Indonesia. Pada tahun 1890, dokter militer Belanda dengan nama Eugene Dubois menemukan fosil tulang rahang primata di Jawa Tengah yang memiliki karakteristik khas manusia. Tulang rahangnya itu di temukan berkaitan dengan fosil spesies mamalia yang di perkirakan telah punah beberapa ratus ribu tahun yang lalu, dan pada awalnya oleh Dubois dikategorikan sebagai bagian dari spesies kera yang telah punah.

Tapi ketika di tahun berikutnya, ia menemukan dua fosil hominoid lebih, dalam kondisi yang serupa, ia menjadi yakin bahwa ia telah menemukan bukti pertama di dunia yang lama di cari para "missing link/mata rantai yang hilang" teori Darwin. Manusia Jawa (Homo erectus paleojavanicus) ini adalah jenis Homo erectus yang pertama kali di temukan.

Pada awal penemuan, makhluk mirip manusia ini di beri nama ilmiah Pithecanthropus erectus oleh Eugène Dubois, pemimpin tim yang berhasil menemukan fosil tengkoraknya di Trinily yang terletak di tebing Sungai Bengawan Solo, Jawa, Indonesia pada tahun 1891. Nama Pithecanthropus erectus sendiri berasal dari akar bahasa Yunani dan latin dan memiliki arti manusia-kera yang dapat berdiri.

Penemuan Dubois ini banyak di kecam oleh ahli-ahli agama karena dia memperkirakan phitecanthropus erectus itu adalah "Manusia Jawa" pertama dengan kata lain adalah mereka-mereka yang hidup di jawa sekarang adalah keturunan dari phitecanthropus erectus.

Akibat banyaknya kecaman terhadapnya, Dubois kemudian berhenti bekerja di bidang paleoantropologi. Dubois berhenti melakukan risetnya untuk beberapa lamanya tetapi lebih dari dua dekade kemudian, dengan di temukannya fosil serupa di luar Peking pada tahun 1921, bahwa riset yang ia lakukan pada akhirnya terbukti benar.

"Manusia Jawa" dan "Peking Man" kini diakui sebagai anggota spesies Homo erectus, nenek moyang langsung manusia yang mendiami dunia lama dari sekitar 1,7 juta sampai 250.000 tahun yang lalu.

Kerangka tubuh Homo Erectus pada dasarnya modern, tetapi memiliki wajah besar dengan sangat menonjol tulang alis. Banyak fosil jenis ini telah di temukan di Jawa Tengah,beberapa di antaranya lebih dari satu juta tahun. Replika yang di pajang di Museum Geologi di Bandung dan museum situs Sangiran, di luar Surakarta.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa homo errectus mungkin tidak bisa berbicara, tetapi ia bisa mengucapkan suara yang dapat di gunakan untuk berkomunikasi. Dia adalah seorang omnivora dan pengumpul makanan yang tinggal di gua-gua maupun di tempat-tempat terbuka dan tampaknya makhluk
pertama yang mengetahui penggunaan api.

Dia juga memproduksi alat dari batu yang mencakup pemotong serpihan, kapak dan lainnya. Ribuan alat batu berasal dari antara 500.000 dan 250.000 tahun yang lalu telah di kumpulkan di dasar Sungai Basoka dekat Pacitan, di selatan-Jawa Tengah. Alat serupa juga telah di temukan di Flores dan Timor, yang menarik dari penemuan ini adalah kemungkinan bahwa Homo erectus mungkin telah menyebar ke pulau-pulau bagian timur.

Apabila di lihat dari sudut mata pencahariannya periode ini di sebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Alat-alat yang di gunakan juga di kerjakan sangat kasar, oleh karena itu alat-alat batu buatan manusia pada jaman ini tidak di asah atau di poles. Masa ini di sebut juga masa Paleolitikhum atau zaman batu tua. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil-fosil ini di temukan di sepanjang aliran sungai Bengawan solo.

Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Pada tahun 1935 Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya di genggam dengan tangan, kapak ini di kerjakan dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman Paleolithikum ini dengan nama Chopper. Alat ini di temukan di lapisan Trinil, selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleolithikum ini di temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).

Berdasarkan dari berbagai penemuan yang di dapat, kita bisa menyimpulkan beberapa ciri-ciri zaman Paleolithikum ini:

1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada zaman ini adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soliensis. Fosil ini di temukan di aliran sungai Bengawan Solo.

2.Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat di kelompokkan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
A. Kebudayaan Pacitan.
Pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih di kerjakan dengan sangat kasar dan belum di haluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak Penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak di temukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat) dan Lahat (Sumatera Utara)

B. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk Rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo, selain itu di dekat Sangiran di temukan alat sangat kecil dari bebatuan yang amat indah. Alat ini di namakan Serba Pilah, dan banyak di temukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti Kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga di dukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seerti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan di temukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan).

Zaman ini di tandai dengan kebudayaan manusia yang masih sangat sederhana, ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum yaitu:
a. Hidupnya yang berpindah-pindah (Nomaden)
b. Mencari makannya dengan cara berburu (Food Gathering) dan menangkap ikan.

Beberapa alat-alat yang di temukan dan di gunakan pada zaman Paleolithikum ini adalah:

Kapak Genggam
1.Kapak Genggam.
Kapak genggam ini banyak di temukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya di sebut "chopper" (alat penetak/pemotong). Alat ini di namakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatan kapak genggam di lakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya di biarkan apa adanya sebagai tempat menggengam. Kapak genggam ini berfungsi untuk menggali umbi, memotong dan menguliti binatang.

Kapak Perimbas
2. Kapak Perimbas
Kapak perimbas ini berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia kebudayaan Pacitan ini adalah jenis Pithecanthropus, alat ini juga di temukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), Lahat (Sumatera Selatan) dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak di temukan di daerah Pacitan Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald di sebut kebudayaan Pacitan.

Alat-alat dari tulang binatang
dan tanduk rusa
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa.
Salah satu alat peninggalan zaman Paleolithikum juga adalah di temukannya alat dari tulang binatang. Alat dari tulang binatang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa di gunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.




Flakes yang di temukan di Sangiran
4.Flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat di gunakan untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan


2. ZAMAN MESOLITHIKUM
Klasifikasi lebih fosil hominid baru-baru ini masih sangat di ragukan, terutama untuk spesies peralihan antara Homo erectus dan manusia modern. Pusat untuk permasalahan klasifikasi adalah pertanyaan apakah manusia modern berevolusi di satu tempat (di anggap oleh beberapa orang untuk menjadi sub Sahara Afrika) dan kemudian menyebar ke daerah lain, atau apakah evolusi paralel terjadi di berbagai tempat dan pada tingkat yang berbeda. Catatan fosil dapat di tafsirkan untuk mendukung kedua pandangan.

Dalam lingkup Indonesia, kontroversi ini berpusat di sekitar penanggalan dan klasifikasi yang di sebut "Man Solo" fosil yang di temukan antara tahun 1931 dan 1933 di samping Sungai Bengawan Solo di Ngandong, di Jawa Tengah. Beberapa ahli mengklasifikasikan "Man solo" sebagai spesies intermidiate berasal dari mungkin 250.000 tahun yang lalu, dan mengklaim dirinya sebagai bukti keturunan Tenggara-Asia yang berbeda dari evolusi Homo errectus manusia modern.

Dan yang lain menegaskan bahwa "Man Solo" itu hanya sebuah spesies Homo erectus canggih yang selamat dalam isolasi dan kemudian keluar meninggalkan habitatnya sepenuhnya. Di butuhkan penemuan lebih akurat yang lebih spesifik untuk mengatasi masalah tersebut.

Catatan fosil dari manusia modern (Homo sapiens) berasal dari 60.000 tahun yang lalu telah di temukan di Cina dan daratan Asia Tenggara, dan ini lebih baik di bandingkan dengan penampilan homo sapiens di bagian lain dunia, meskipun dengan di temukannya dua fosil Afrika yang di perkirakan usianya lebih dari 90.000 tahun. Manusia modern juga pernah menghuni di Indonesia. New Guinea dan Australia sekitar 40.000 tahun yang lalu dan bahkan mungkin lebih awal.

Semua fosil Homo sapiens Asia Tenggara sebelum sekitar 5.000 SM telah di identifikasi sebagai anggota kelompok Australoid masyarakat yang bertahan di tempat terisolasi di Malaya dan Filipina yang hari ini sebagai berkulit hitam, kurus berambut negritos. Di perkirakan karena itu masyarakat Australoid merupakan penduduk asli dari seluruh wilayah, dan kemudian di serap, di dorong ke dataran tinggi atau di dorong ke arah timur dengan berikutnya "gelombang" migrasi Mongolia.

Menurut pandangan ini, ciri-ciri fisik Autraloid di temukan hari ini di antara sebagian besar Mongolia dan populasi Indonesia, seperti rambut keriting dan kulit gelap, merupakan bukti adanya kontribusi genetik Autraloid. Dari sedikit bukti yang kita miliki tampak bahwa Homo sapiens awal di lanjutkan dan di
sempurnakan dengan adanya penemuan-penemuan batu yang di pipihkan-alat pembuatan lainnya dari Homo erectus, juga penciptaan instrumen tulang, kerang dan bambu.

Mereka berkumpul dan berburu, makan berbagai macam buah-buahan, tanaman, dan hewan moluska, termasuk tapir, gajah, rusa dan rhinoceri. Tampaknya bahwa mereka juga kanibal, karena adanya penemuan tulang manusia yang hancur bersama kerang yang di buang dengan tulang belulang hewan.

Di mulai sekitar 20.000 tahun yang lalu, ada bukti fosil penguburan manusia dan kremasi partial, beberapa lukisan gua ( figur manusia dan hewan) di temukan di barat daya Sulawesi dan New Guinea yang berusia mungkin 10.000 tahun atau lebih. The Neolitik atau New Age Batu di tandai di sini sebagai tempat lain oleh munculnya pemukiman penduduk, hewan peliharaan, alat-alat batu yang di poles, tembikar dan budidaya makanan.


Beberapa penemuan hasil kebudayaan Mesolithikum di antaranya adalah:
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
Terdapat beberapa penemuan hasil dari kebudayaan Pebble (Pebble Culture) yang dalam bentuknya unik di antaranya adalah:

 Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur).
A. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur).
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya juga sampah, jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Tapi dalam kenyataanya Kjokkenmoddinger itu adalah hasil dari timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang tingginya mencapai 7 meter dan sudah membatu atau sudah menjadi fosil.

Temukan ini pertama kali di temukan di sepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Pada tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam pada zaman Paleolithikum). Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba pada zaman ini sudah menetap.

Pebble (kapak genggam Sumatra)
b. Pebble (kapak genggam Sumatera= Sumateralith)
Kapak genggam ini di temukan di dalam bukit kerang dan di sebut juga pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasa dari batu kali yang di pecah-pecah. Penelitian pebble ini di lakukan pada tahun 1925 oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels.

c. Hachecourt (kapak pendek).
Kapak ini bentuknya pendek setengah lingkaran, ini juga di temukan di dalam bukit kerang.

Pipisan
d. Pipisan
Selain kapak-kapak yang di temukan dalam bukit kerang tersebut, di temukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan ini di gunakan untuk menggiling makanan dan juga untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah di perkirakan di gunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.

2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang di temukan di goa Lawa di Sampung (daerah Ponorogo-Madium Jawa Timur) tahun 1928-1931 di temukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah di asah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang di temukan ini adalah dari tulang, sehingga di sebut sebagai Sampung Bone Culture.

Abris Sous Roche
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang di jadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.

Alat-alat yang di temukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah di asah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang di temukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog di sebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung.

Karena goa di Sampung tidak di temukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini di lakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak di temukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble.

Di goa tersebut di diami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga di temukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.

B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini di temukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup.

Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:
-Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
-Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.

Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.

Lukisan goa
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu di sebut juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal di kuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan.

Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu,di dalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang di lumuri cat merah yang di sebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini di temukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.

3. ZAMAN NEOLITHIKUM
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.

Pada zaman ini orang-orang sudah mulai mengenal istilah pertanian meskipun masih sangat primitif yaitu hanya di lakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.

Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama.

Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat di katakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.

Pada zaman Neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah di haluskan. Beberapa hasil kebudayaan dari zaman Neolithikum adalah:
1.Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.

Kapak Persegi
2.  Kapak Persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim di sebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil di sebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.

Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga di buat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini di temukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

Kapak Lonjong
3. Kapak Lonjong
Sebagian besar kapak lonjong di buat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.

Ukuran yang di miliki kapak lonjong yang besar lazim di sebut dengan Walzenbeil dan yang kecil di sebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.

4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak di temukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah di temukan yaitu di Minahasa.

Perhiasan gelang Neolithikum
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang di temukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini di pergunakan juga batu-batu yang di cat atau batu-batu akik.

6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut di sertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya di temukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.


Genderang Dongson
7. Tembikar periuk belanga
Orang sering menyebut penemuan ini dengan nama  istilah kebudayaan Dongson. Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sông H?ng, Vietnam. Kebudayaan ini juga  berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Nusantara yang kemudian di kenal sebagai masa kebudayaan Perunggu.

Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat di nyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.

Penemuan Dongson yang terbaik adalah genderang perunggu seremonial dan kapak yang khas di hiasi dengan ukiran hewan geometris, dan motif manusia. Ini gaya dekoratif yang sangat berpengaruh dalam berbagai bidang seni rupa Indonesia, dan tampaknya telah menyebar bersama-sama dengan teknik pengecoran perunggu, seperti cetakan batu tua telah di temukan di berbagai situs di Indonesia.

Siapa yang menjadi pembuat perunggu Kebudayaan Dongson dari Indonesia? Sulit untuk mengatakan dengan pasti, tetapi tampaknya bahwa kerajaan kecil berdasarkan sawah pertanian dan perdagangan luar negeri berkembang sudah di Nusantara selama periode ini.

Di India telah di temukan situs prasejarah yang beberapa hasil temuannya telah ada beberapa di Indonesia, seperti sebuah panel dari genderang perunggu di temukan di Pulau Sangeang dekat Sumbawa, menggambarkan tokoh-tokoh dalam gaun Cina kuno. Pada catatan awal bangsa Han menyebutkan bahwa hasil pulau di bagian timur Indonesia adalah cengkeh, dan dapat di pastikan bahwa pada abad kedua SM (jika tidak sebelumnya), perdagangan telah tersebar luas di seluruh nusantara.


Rangkuman:
Penelitian manusia purba di Indonesia di lakukan oleh :

Eugena Dobois
1. Eugena Dobois
Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung.
• Fosil itu di namai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju)
• Fosil lain yang di temukan adalah :
Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, Erectus berjalan tegak) di temukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi, tahun 1891. Penemuan ini sangat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan.
• Pithecanthropus Majokertensis, ditemukan di daerah Mojokerto
• Pithecanthropus Soloensis, di temukan di daerah Solo

2. G.H.R Von Koeningswald
Hasil penemuannya adalah : Fosil tengkorak di Ngandong, Blora. Tahun 1936, di temukan tengkorak anak di Perning, Mojokerto. Tahun 1937 – 1941 di temukan tengkorak tulang dan rahang Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus di Sangiran, Solo.

3. Penemuan lain tentang manusia Purba :
Di temukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).

4. Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang di pimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo.
Fosil Manusia Purba yang di temukan di Asia, Eropa, dan Australia adalah :
• Semuanya jenis Homo yang sudah maju : Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), dan Cina.
• Fosil yang di temukan di Cina oleh Dr. Davidson Black, dinamai Sinanthropus Pekinensis.
• Fosil yang di temukan di Neanderthal, dekat Duseldorf, Jerman yang di namai Homo Neaderthalensis.
• Menurut Dubois, bangsa asli Australia termasuk Homo Wajakensis, sehingga ia berkesimpulan Homo Wajakensis termasuk golongan bangsa Australoid.
Jenis-jenis Manusia Purba yang di temukan di Indonesia ada tiga jenis :
1. Meganthropus
2. Pithecanthropus
3. Homo

Jenis manusia Purba Pithecanthropus
Ciri-ciri manusia purba yang di temukan di Indonesia :
1. Ciri Meganthropus :
• Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
• Badannya tegak
• Hidup mengumpulkan makanan
• Makanannya tumbuhan
• Rahangnya kuat

2. Ciri Pithecanthropus :
• Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
• Hidup berkelompok
• Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
• Mengumpulkan makanan dan berburu
• Makanannya daging dan tumbuhan

3. Ciri jenis Homo :
• Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
• Muka dan hidung lebar
• Dahi masih menonjol
• Tarap kehidupannya lebih maju di banding manusia sebelumnya

CORAK KEHIDUPAN PRASEJARAH INDONESIA DAN HASIL BUDAYANYA
Hasil kebudayaan manusia prasejarah untuk mempertahankan dan memperbaiki pola hidupnya menghasilkan dua bentuk budaya yaitu :
• Bentuk budaya yang bersifat Spiritual
• Bentuk budaya yang bersifat Material

i. Masyarakat Prasejarah mempunyai kepercayaan pada kekuatan gaib yaitu :
• Dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap benda-benda yang di anggap mempunyai kekuatan gaib. Misalnya : batu, keris
• Animisme, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang mereka yang bersemayam dalam batu-batu besar, gunung, pohon besar. Roh tersebut di namakan Hyang.

ii. Pola kehidupan manusia prasejarah adalah :
• Bersifat Nomaden (hidup berpindah-pindah), yaitu pola kehidupannya belum menetap dan berkelompok di suatu tempat serta, mata pencahariannya berburu dan masih mengumpulkan makanan.
• Bersifat Sedenter (menetap), yaitu pola kehidupannya sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat, mata pencahariannya bercocok tanam. Muali mengenal norma adat, yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan.

iii. Sistem bercocok tanam/pertanian
• Mereka mulai menggunakan pacul dan bajak sebagai alat bercocok tanam
• Menggunakan hewan sapi dan kerbau untuk membajak sawah
• Sistem huma untuk menanam padi
• Belum di kenal sistem pemupukan

iv. Pelayaran
Dalam pelayaran manusia prasejarah sudah mengenal arah mata angin dan mengetahui posisi bintang sebagai penentu arah (kompas)

v. Bahasa
• Menurut hasil penelitian Prof. Dr. H. Kern, bahasa yang di gunakan termasuk rumpun bahasa Austronesia yaitu : bahasa Indonesia, Polinesia, Melanesia, dan Mikronesia.
• Terjadinya perbedaan bahasa antar daerah karena pengaruh faktor geografis dan perkembangan bahasa.

Jenis fosil manusia purba Indonesia:
01. Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran).
02. Pithecanthropus Robustus (Trinil).
03. Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus) (Trinil).
04. Pithecanthropus Dubius (Jetis).
05. Pithecanthropus Mojokertensis (Perning).
06. Homo Javanensis (Sambung Macan).
07. Homo Soloensis (Ngandong).
08. Homo Sapiens Archaic.
09. Homo Sapiens Neandertahlman Asia.
10. Homo Sapiens Wajakensis (Tulungagung)
11. Homo Modernman.

Peta Penemuan Fosil Manusia Purba
 di Jawa Tengah – Jawa Timur
Peta Penemuan Fosil Manusia Purba di Jawa Tengah – Jawa Timur

1.  Sangiran
2 . Sambungmacan
3 . Sonde
4 . Trinil
5 . Ngandong
7 . Kedung Brubus
8 . Kalibeng
9 . Kabuh
10 . Pucangan
11 . Mojokerto (Jetis-Perning)



Peta penyebaran Homo erectus


0 comments:

Post a Comment

Luangkan waktu untuk menunjukan kepedulian anda di blog ini, untuk memperbaiki blog agar lebih baik!!